cerita mbun

Self-Love: Sembuhkan Luka dan Menghargai Diri Secara Penuh dan Sadar

15 komentar

Menghargai diri sendiri secara penuh dan sadar


Gak enak banget merasakan sesuatu yang tidak nyaman. Apalagi sampai menyalahkan diri dan membenci diri sendiri. Berulang kali mengatakan kalau ini salahku, seharusnya aku tidak membuat keputusan seperti itu. Mungkin perasaan ini tidak akan pernah ada jika aku tidak mengambil keputusan tersebut.

Aku merasa kehilangan aku yang dulu. Merasa rendah dan tidak berdaya sebagai perempuan. Meski pada akhirnya aku tidak menyesali apa yang terjadi, tapi kejadian ini cukup membuatku berperang dengan diriku sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan besar yang sangat berisik di kepala.

Luka batin yang menganga ini membuatku belajar untuk menerimanya dengan penuh dan sadar. Mau gimana lagi? Rasanya memang itulah solusi dari mencintai diri sendiri. Karena aku berharga, aku istimewa dan aku berhak bahagia atas pilihan hidupku.

Mencintai Diri Sendiri (Self-Love)


Self Love adalah mencintai diri sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Menghargai diri sendiri sehingga kita jadi individu yang lebih baik lagi. 

Mencintai diri sendiri


Self-Love berbeda dengan narsisme. Kalau narsisme mencintai diri secara berlebihan dan cenderung menganggap diri paling benar.

Self-Love adalah kondisi ketika kita dapat menghargai diri sendiri dengan cara mengapresiasi diri saat kita mampu mengambil keputusan dalam perkembangan spritual, fisik, dan juga psikologis. -Khoshaba (2012).

Contohnya adalah saat kamu sudah berhasil menerima kekurangan dan kelebihanmu, fokus terhadap tujuan hidup yang kamu miliki, lalu hidup secara puas dengan usaha yang telah kamu lakukan.

Mencintai diri sendiri ini penting banget bagi kelangsungan hidup kita agar kita bisa menjaga produktivitas. Jangan sampai merasa Self-Loating, yaitu kritik ekstrem terhadap diri sendiri. Perasaan yang kita lakukan itu salah semua dan bisa sampai membenci diri sendiri.

Kenapa Sih Seseorang Bisa Jadi Benci Sama Dirinya?

Pemicu terjadinya trauma


Pernikahan membuat banyak perubahan untuk diriku. Tentunya selain kebahagiaan yang aku dapatkan, aku merasa rencana di pernikahan tidak sesuai ekspektasiku. Aku justru cenderung tidak fokus dengan apa yang aku mau.

Alih-alih lebih baik, aku malah semakin dalam dengan perasaanku sendiri. Perasaan yang membuat trauma cukup lama.  

1. Karena Kejadian Menyakitkan atau Trauma

Satu tahun pernikahan adalah hal terberat bagiku. Aku tidak menyangka ini bisa terjadi padaku. Masalah terbesar dalam hidupku setelah 3 bulan pernikahan kami, sampai mertua harus turun tangan untuk bantu menyelesaikan.

Aku sampai bertanya-tanya, "Ya Allah, kenapa harus aku? Aku yang notabene 'on the track', gak macem-macem kenapa harus dapat ujian seperti ini?" 

Meski gak dibilang aku juga orang yang baik, tapi pertanyaan itu selalu muncul. Maafkan hambamu yang kufur ini.

Sikapku terhadap pasangan justru membuatnya tidak percaya diri dan merasa gagal tidak bisa memenuhi keinginanku, padahal aku sendiri tidak merasa seperti itu. Hingga akhirnya pasangan menghindari aku.

Pergolakan batin yang kami rasakan berdua tanpa adanya komunikasi. Meski sudah selesai saat itu, tapi tidak mudah untuk bisa benar-benar menerimanya. Banyak yang biang, “udah lupain aja, yang dulu biarlah berlalu kan udah saling memaafkan tinggal lihat ke depan”.

Nyatanya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Itulah kenapa ada psikolog, karena tidak semua orang bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. 

Justru setiap ada kejadian yang men-trigger, akan mudah mengingatkan kejadian yang pahit. Perasaan seperti naik turun, berbagai macam cara aku lakukan agar keadaan benar-benar kembali “normal”.

Hingga aku tuangkan ke dalam buku antologi yang berjudul Bahagia Tanpa Syarat dengan judul tulisan“Tumbuh Bersamamu” dan 4 buku antologi lain yang berhasil aku tulis. Tidak puas dengan itu aku kembali nulis ngeblog hingga saat ini. Itulah juga yang menjadi alasan kenapa aku ngeblog.

2. Ekspektasi dan Harapan Kita yang Selalu Tinggi

Aku lupa satu hal kalau Allah Maha Pemberi Rezeki. Aku melupakan itu dan Allah mengujiku dengan keraguanku. Suami meminta izin untuk resign dari kantor lamanya. Tapi, aku tidak mengizinkan selama belum ada tempat yang baru.

Karena khawatir tidak akan bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Allah mengujiku disitu hingga aku merasakan betapa Rezekinya melimpah meski aku dalam kondisi sulit sekalipun.

Perasan bersalah itu terus menghantuiku. Menyalahkan diriku andai saja aku lebih banyak kontribusi dan mengiyakan keinginan suami saat itu mungkin hal ini tidak akan terjadi. Perasaan itu membuatku semakin insecure dan merasa tidak bisa apa-apa.

Belum lagi aku yang udah resign dari tempat kerjaku, merasa gak ada kontribusi ekonomi terhadap keluarga. Meski suami sendiri tidak pernah menyuruhku untuk bekerja, tapi aku merasakan hal yang berbeda.

Aku merasa sumber penghasilan hanya dari suamiku saja membuatku stress. Padahal setelah menikah aku masih bekerja di kantor notaris tapi tetap saja itu tidak cukup untuk mengusik otakku berpikir positif. 

3. Sifat Perfeksionis

Dari sebelum menikah, aku sudah merasakan sifat perfeksionis ini yang aku sadar aku melakukannya tapi sulit dihentikan. Seperti tugas kuliah yang harus berakhir dengan sempurna padahal aku sendiri tidak sanggup melakukannya. Kalau ada yang tidak puas, aku akan merasa sedih yang luar biasa.

Aku ingin seperti teman-temnaku yang terlihat santai saat ada tugas, mengerjakan dengan kemampuannya. Begitu masuk dunia kerja pun sama sifat perfeksionis ini masih terbawa.

Ternyata ini berlanjut sampai ke pernikahan yang harus selalu berjalan sempurna, hingga begitu menyiksaku. Aku mulai belajar melakukan sesuatu dengan pelan-pelan.

Sulit menerima kesalahan sekecil apapun, kesalahan yang kecil bisa dianggap hal yang memalukan bagi perfeksionis. 

4. Membandingkan Diri dengan Orang Lain

Media sosial menjadi ajang pembuktian pencapain diri. Terlihat yang ditunjukkan sebuah kesuksesan dan keindahan saja. Gak mungkin kan lagi berantem sama pasangan di posting? Hehe.

Hampir saja aku dikendalikan media sosial. Membandingkan diriku dengan orang lain yang terlihat lebih sukses. Padahal kita tidak pernah tahu bentuk perjuangan orang lain.

Aku cukup aktif di kampus dan banyak mengikuti kegiatan kampus. Kadang kali jadi patokan juga saat teman bertanya tentang mata kuliah tertentu. Tapi, setelah lulus kuliah aku melihat beberapa teman yang terbilang sukses padahal di kampusnya “biasa aja”.

“Kenapa dia bisa bekerja sebagai profesi tersebut? Kan di kelas aja dia gak vokal”.

“Kok dia bisa sih lulus tes itu? Kan dia kuliah aja banyak kelas yang ngulang.”

“Kok dia gampang banget cari kerja? Kan IPK-nya kecil”.

Merasa diri paling benar hingga membandingkan dengan orang lain. Tidak melihat padahal bisa jadi banyak orang juga yang ingin seperti aku.

Aku bersyukur dipertemukan dengan teman blogger. Saat aku menceritakan kegelisahanku ini kami jadi deep talk dan aku menemukan insight dari obrolan tersebut. 

Segala sesuatu kalau bukan rezeki kita gak akan di dapat. Kalau rezeki kita, mau lari kemana tetap buat kita. Dibalik apa yang belum kita capai, ada maksud baik Allah mengamankan kita dari hal yang tak diinginkan. -SYN

Cara Mencintai Diri Sendiri dengan Menyembuhkan Luka yang Menganga

Melakukan self healing yang sesungguhnya



Semakin kesini aku harus berpikir bahwa aku tidak boleh larut dengan perasaan-perasaan itu yang menggangguku. Aku berpikir keras bagaimana agar aku bisa menikmati hidupku dengan baik tanpa ada overthingking.

Masalah sudah selesai, kami saling memaafkan dan menata lagi apa yang harus ditata. Komposisi cinta dalam pernikahan kami maksimalkan. Masalahnya ada di diriku yang harus bisa ikhlas menerima. 

1. Melakukan Self Healing


Self Healing adalah proses penyembuhan luka batin yang dilakukan oleh diri sendiri. Meski sekarang maknanya jadi bergeser seperti liburan atau jalan-jalan.

Padahal Self Healing bisa dilakuan dengan banyak cara dan gratis. Saat itu aku menyibukkan diri sendiri untuk menjaga pikiranku agar tetap positif dan mencegah energi negatif yang mudah masuk.

Aku memutar otak gimana caranya agar bisa menghasilkan uang dan energi positif secara bersamaan. Aku mencoba peruntungan dalam berwirausaha. Alhamdulillah dari usaha tersebut yang membawa kami untuk membentuk koperasi sebagai salah satu pelaku UMKM di kota kami.

2. Self Acceptance


Menerima, mengakui dan menghargai pencapaian dan keterbatasan diri. Mengenal kelebihan dan kekurangan serta berlapang dada menerimanya.

Ini sangat sulit aku terima. Karena merasa dikhianati sulit kembali membangun kepercayaan kepada seseorang. Dampaknya aku jadi mudah curiga sama orang lain.

Saat aku mulai belajar menerima semua yang sudah terjadi, Allah hadirkan anak dalam hidup kami yang kami beri nama Aqlan. Alhamdulillah memang kita selalu tau hikmahnya itu saat di akhir. Sehingga kami bisa mendidik Aqlan tanpa dengan kesehatan mental yang positif.

3. Menerima Rasa Sulit

Rasa sulit yang didapatkan dari orang lain hanya bisa diterima dengan menangis. Mengevaluasi apa yang salah dan kurang. Melangkah pun terasa sulit.

Untuk bisa bercerita seperti ini pada orang lain saja tidak mudah. Awalnya selalu bergetar dan keringat. Detak jantung jadi tak menentu. Perlahan dicoba bercerita melalui tulisan, lama-lama bisa dengan nyaman bercerita sama orang lain.

Proses penerimaan yang tidak mudah bukan berarti tidak bisa. Yakin dalam diri kalau semua ini adalah takdir dari Allah yang bisa kita jalani dengan baik.

4. Self-Distancing

Jaga jarak sama diri sendiri. Dengan mengambil sudut pandang orang ketiga. Misalkan kita bisa bercerita terkait masalah kita kepada orang lain.

Membuat kita merefleksikan apa yang sudah terjadi selama ini. Aku berusaha mengingat hal-hal baik yang terjadi dalam hidupku. 

Pentingnya Menjaga Kesehatan Mental

Pentingnya menjaga kesehatan mental


Selain fisik yang tetap bugar bisa melakukan aktivitas, kesehatan mental juga tidak kalah pentingnya. Justru saling berkaitan karena jika mental tidak sehat, dia juga bisa mengakibatkan fisiknya sakit, begitu sebaliknya. 

Namun sayangnya, kesehatan mental masih seiring dianggap orang yang "gila". Padahal gak semua yang kena gangguan mental orang yang tidak bisa mengontrol diri dan menyakiti orang lain.

Kesehatan mental merupakan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang lengkap dan bukan hanya gak adanya penyakit atau ketidakmampuan. -WHO

Kesehatan fisik dan mental sama-sama penting. Kesehatan mental yang sehat membuat cara berpikir baik sehingga menjadi fokus dan terarah. 

Mempunyai pandangan yang positif sehingga bisa mengatasi tantangan setiap harinya. Penting sekali untuk kita jaga mental kita. Itulah yang menjadi patokan aku untuk terus bangkit agar bisa mengelola emosi dengan baik.

Untungnya ada Blog Dear Senja yang bantu semua permasalahan mental aku. Disana aku bisa cari tau perasaan apa yang selama ini selalu menghantuiku. Website Dear Senja sangat mendukung kesehatan mental kita. Kamu juga bisa konsultasi di sana. 

Kesimpulan

Suatu kejadian yang menyakitkan bisa menjadi penyebab trauma. Trauma tersebut dampaknya bisa membuat kita jauh dengan diri sendiri. Paling parah bisa membenci diri sendiri.

Kebaikan yang ada pada diri jadi tidak terlihat karena kecemasan dan ketakutan yang luar biasa. Aku sadar dengan apa yang terjadi padaku, sehingga aku harus bangkit karena tidak ingin berlama-lama merasakan ketidaknyamanan ini. 

Prosesnya sangat lama dan setiap orang beda-beda. Aku beruntung, pasanganku sama-sama mau bangkit dan evaluasi yang terjadi. Menata kembali puing-puing yang sudah runtuh. 

Yuk, kita sayangi diri kita. Peluk diri ini dan katakan "Terima kasih ya, kamu sudah kuat sampai hari ini". 

Referensi:

https://satupersen.net/blog/self-love-menghargai-diri-sendiri-kalau-bukan-kamu-siapa-lagi

https://satupersen.net/blog/menerima-kekurangan-diri-self-acceptance

https://youtu.be/U6qeW1MoK9s

#DearSenjaBlogCompetition


Related Posts

15 komentar

  1. Self love jadi hal penting ya, Kak. Apalagi di era sekarang ini makin banyak orang yang suka ngepoin kita buat nyeritain kekurangan kita menurut mereka ke orang lain. Jika tidak bisa mengelola emosi diri, bisa menjadi emosi negatif yang terus menggerogoti diri. Wal hasil menjadi luka tersendiri bagi kita.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener pak, jangan sampai kita dikuasai emosi negatif sehingga membuat kita tidak lagi mencintai diri sendiri.

      Hapus
  2. Kalau di lihat dari kisah perjalanan hidupnya, Mbak Fida ini nggak ada alasan untuk krisis identitas, banyak sekali hal yang baik yang sudah dicapai, saya salut.. tapi memang kalau sedang galau, harus ada upaya yang dilakukan ya, salah satunya konsultasi dengan ahlinya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah mbak, memang harus melihat apa yang kita sudah miliki agar kita terus selalu bersyukur.

      Hapus
  3. Kisah mba mungkin hampir sama dengan ibuku yang perfeksionis dalam hal apapun. Namun hingga akhir hayatnya beliau tidak sempat untuk memperbaiki kesehatan mentalnya dengan baik. Akhirnya semua dilampiasi dengan makanan. Sedih rasanya saya tidak bisa banyak membantunya kala itu :'(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alfatihah untuk ibunya mbak. Gapapa mbak, kita bisa mulai perbaiki mental dari diri sendiri sehingga bisa berbagi dengan anggota keluarga yang lain.

      Hapus
  4. Kurang lebih sama kayak aku mba, aku membandingkan pencapaian orang lain, keterbatasan fisikku yg selalu bikin aku lupa bersyukur. Pelan-pelan menerima keadaan dan fokus ke diri sendiri, kadang masih Kambuh stressnya, tapi proses untuk menjadi lebih baik memang nggak gampang dan perlu waktu tentunya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang kuncinya harus bisa menerima, pelan-pelan meski tidak mudah. Semangat untuk kita ya mbak..

      Hapus
  5. Selflove ini yg kadang tidak kita sadari semakin hilang dari diri kita. Tks sudah mengingatkan tentang bagaimana kita menghargai diri sendiri

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul makanya penting banget untuk kita selalu bersyukur dan menerima

      Hapus
  6. Ini ngena banget sih... dan selaku penyintas galau parah (hehe), saya yakin butuh keberanian kuat untuk bisa menulis jujur tentang hal buruk yg pernah menimpa diri sendiri. Thanks for sharing mba...btw, saya baru tau istolah self loating lho..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener mbak, gak mudah menulis ini tapi ya Bismillah. Banyak istilahnya ya mbak, hehe.

      Hapus
  7. Self love bukan egois,tetapi sebagai bentuk menghargai diri sendiri, karena siapa lagi yang akan mencintai diri kita jika bukan kita sendiri
    kita berhak bahagia, jika sudah bahagia maka kita akan mudah berbagi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aaahh bener banget mbak Dy, kita harus bahagia yaaa...

      Hapus
  8. Sekarang memang kita harus memperhatikan kesehatan mental diri sendiri..itu bukan suatu keegoisan tapi di zaman serba terbuka dalam hal informasi, terkadang kita mudah stress. Obatnya kalau saya sih mencintai diri sendiri terlebih dahulu

    BalasHapus

Posting Komentar