cerita mbun

Kehilangan "Aku" yang Dulu

Posting Komentar


Berubah status menjadi Ibu, bukan hanya perubahan fisik yang berdampak, tapi juga sikap. Dibalik kenikmatan yang aku dapatkan, ada juga sisi lemahnya. Aku merasa kehilangan aku yang dulu. Gapapa berubah, tapi berubahnya harus jadi lebih baik. Tapi, nyatanya ada yang semakin melemah.

Aku juga berharap ini gak berlarut dan bisa diatasi. Repot juga nanti kalau seperti ini terus. Apa semua yang baru jadi ibu mengalami seperti aku juga? Atau hanya aku saja? huhu rasanya sedih banget jadi berasa aneh gini.

Aku memang lagi kangen sama fase bisa kemana- mana sendiri dan gak ribet. Tapi, kalau disuruh milih, aku akan memilih fase ini dimana aku adalah dunianya Aqlan. Bahagianya sama Aqlan daripada harus sendiri. Cuman kangen dan butuh istirahat aja. Tapi dikasih waktu me-time malah kangen Aqlan dengan segala rutinitas yang semrawut. Dasar aku! 😀

Kalau ngeluh mulu, malu sama Allah, dulu mohon-mohon sampai nangis minta dikasih keturunan karena 16 bulan pernikahan belum juga diberi momongan. Itu sih yang jadi trigger aku agar lebih semangat menjaga amanah yang sudah diberikan kepadaku ini. 

Tapi sebagai manusia aku juga tak luput dari segala khilaf (semoga ini bukan alasan ya, hihi). Ini dia perubahan yang aku alami yang cukup mengusikku;


1. Mudah Lupa

Setiap hari aku pasti lupa sama sesuatu. Dari hal receh lupa nyimpen minyak wangi Aqlan dimana sampai ketingkat fatal lupa nyimpen dompet belanja dimana. Padahal udah merasa simpan minyak wangi disatu wadah skin care Aqlan, tapi pas mau dipake kok gak ada. Tapi yang paling sering itu lupa nyimpen dompet dimana. Dompet buat belanja sama utama aku pisahkan agar memudahkan aku untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Kalau dompet utama isinya KTP, ATM, segala macam kartu sama uang yang besar nilainya. Baru-baru ini kejadian aku lupa nyimpen dompet belanja sampai gak ketemu udah dicari seharian. Parahnya aku gak inget terakhir aku nyimpen dimana. Biasanya kalau aku lupa, pasti gak jauh ada di ruang tamu. Entah ada di kolong ranjang Aqlan atau di rak TV. Tapi kali ini bener-bener gak ada.

Sampai stres banget nyarinya, baru kali ini pertama kehilangan uang. Mana tanggung bulan belum gajian, hihi. Akhirnya lama-lama aku inget dompetnya dimana. Aku ceroboh nyimpen diatas motor suami yang disimpen diteras. Yaah, sepertinya jatoh. Tapi kalau jatohnya diteras rumah, seharusnya masih ada ya. Tapi ini gak ada jejaknya. Yasudah lah mencoba ikhlas walaupun susah, wkwkwk.

Nah pelupa ini jadi reminder banget untuk aku tetap fokus menjaga konsentrasi, aku gak mau hal-hal penting lainnya luput dari ingatanku. Aku yang dulu waktu magang sekolah paling tajam ingatannya kenapa bisa begini. Ketika aku diminta tolong untuk carikan file, aku gak harus bawa note yang berisikan kode file. Sekali lihat aku sudah hafal kodenya. Tapi sekarang, aku jadi pelupa dan ceroboh. Untuk itu, aku berusaha tetap fokus dan mulai sekarang simpan barang sesuai tempatnya biar aku gak mudah lupa. 

2. Terburu-buru

Selain pelupa, aku juga jadi melakukan sesuatu dengan terburu-buru. Makan, mandi, masak, beres-beres, bahkan shalat aku malah jadi buru-buru. Gak heran sering lupa rakaat shalat. Karena mumpung Aqlan tidur dan takut nangis ketika aku masih aktivitas. Jadinya yang ada dipikiran aku adalah "takut Aqlan nangis". Meski ada yang jagain pun, tetap aja kepikiran dan masih buru-buru. Takut kelamaan, gak enak sama yang jagain. 

Udah dijagain sama suami pun masih aja terburu-buru. Harusnya gak usah ya, karena kan ayahnya sendiri jadi aman lah ya. Tapi tetep aja terburu-buru itu kaya udah nempel banget dan susah dilepas malah jadi kebiasaan. Mau santai pun jadi susah. Ada sisi baiknya sih, aku jadi gesit dan gak buang-buang waktu. Meski setiap hari macem setrikaan yang mondar-mandir terus. Tapi untuk shalat? Aku mencoba tetap tenang, tidak terburu-buru. Aku ingin shalatku berkualitas. Ini aku masih belajar. Apalagi kalau mau shalat tapi Aqlan masih seger belum mau tidur, Aqlan suka udah siap-siap aja duduk di depanku yang mau sujud. Atau Aqlan tarik sejadahnya. Kan jadi susah. Malah jadi pengen ketawa. 

3. Kurang Bersyukur

Aku merasa bisa dapet yang lebih. Gak bersyukur sama apa yang didapat. Padahal dulu aku kalau udah dapet sesuatu, yaudah dinikmatin dan gak macem-macem mau yang lain. Apalagi sampai menuntut mau ini dan itu. Tapi, sekarang dengan alasan diri butuh appreciated, merasa harus diberi reward terus. Boleh sih, tapi kalau sesuai kondisi ya.

Memang, diri ini butuh reward atas pencapaian sesuatu agar lebih semangat lagi dan menikmati prosesnya yang telah kita lewati. Tapi kalau berlebihan juga ga baik ya. Malah jadi boros dan tidak bijak mengelola uang. Nah kalau mampunya kasih reward segitu, tapi pengen reward yang lebih tinggi? Jadinya malah merasa gak cukup terus. Fokus sama apa yang ada, bukan sama apa yang hilang.

4. Kurang Optimis

Aku yang dulu adalah si optimis yang gigih. Aku selau yakin sama apa yang aku mau. Apapun rintangannya aku yakin pasti bisa. Proses pendidikan yang orang lihat mudah aku jalani, nyatannya gak mudah buat aku. Rintangannya adalah materi, waktu dan jarak. Tapi, yakin aku bisa menjadi sarjana. Dan Alhamdulillah terwujud dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Intinya aku selalu gigih untuk wujudkan yang aku mau. Kalau kata aku bisa ya bisa. 

Kalau sekarang? Aku selalu melihat sesuatunya dengan "uang". Contohnya, misalkan aku gak mau bekerja di perusahaan A, soalnya gajinya kecil. Nanti gak akan cukup buat ini dan itu. Gak sebanding sama menitipkan Aqlan pada pengasuh. Hello, memangnya apa yang sudah aku berikan? Bagus memang untuk mempertimbangkan segala sesuatunya ya, tapi ini terlihat seperti sebuah alasan. Padahal yang dulu aku lihat adalah, dimanapun aku berada, koneksi, relasi dan kesempatan untuk belajar adalah nilai penting buatku sendiri. Gak melulu tentang uang. Dulu itu yg aku lihat, lain lagi dengan sekarang. Jadi lebih realistis, tapi tanpa melihat nilai-nilai baik di dalamnya. 

5. Hilangnya Nikmat Ibadah

Karena terburu-buru tadi, aku jadi merasa kehilangan nikmatnya ibadah. Dulu rasanya nyaman banget lama-lama di atas sajadah. Berdoa memohon sama Allah, meski tanpa bilang pun aku yakin Allah sudah tahu keinginanku. Tapi berdoa memohon sama Allah itu juga perlu. Tapi sekarang, seperti gak menikmati. Berdoa juga asal aja, yang penting "udah shalat," dan karena alasan tadi Allah juga pasti tahu apa yang aku mau. Padahal bukan begitu konsep ibadah. Melainkan mendapatkan kenikmatan dari ibadah itu sendiri.

Karena merasa gak tenang, akhirnya aku tanya seniorku waktu di kampus yang lebih expert dalam bidang agama karena dulu pernah mondok disebuah pesantren. Ternyata dia juga merasakan hal yang sama denganku semenjak menjadi Ibu. Lalu dia kasih aku tips agar ibadah bisa maksimal dan fokus dengan cara sholawat kepada Nabi SAW. Sholawat bisa dilakukan kapan dan dimana saja sambil aktivitas. Terus saja kita lantunkan sholawat. Insya Allah shalat juga gak akan lupa terus rakaatnya. Konsisten sholawat, kalau perlu pake digital dzikir untuk menghitung, katanya. Tapi tidak pake juga gak masalah. Sampai saat ini aku masih belajar untuk itu.

6. Sering "Ngegas"

Aku yang dikenal kalem sekarang suka gak terima kalau ada yang komentar tentang anak. Rasanya kalau kita yang dikomentarin, masih It's Ok yaa, tapi kalau soal anak, bentar dulu, hehehe. Dimanapun kita berada, orang julid itu pasti ada. Kalau dulu aku biasa aja sih sama orang yang menurutku toxic. Biasanya sakit hati - lupakan - normal lagi. Yaudah besoknya seperti tidak terjadi apa-apa lagi dan aku juga udah lupa sama orang yang bikin bad mood. Tapi kalau sekarang, rasanya pengen ngebales aja. Pengen ikutan ngegas lagi biar puas. Padahal puas gak, malah jadi gak tenang, wkwkwk.

Resiko orang gak enakan kali ya, sok-sokan ngegas, tapi ujungnya malah gak enak. Jadi gak mau kalah gitu kalau orang ngomong dan pengen dinilai sempurna, gak ada salahnya. Karena udah seharian ngurus anak, masih aja dikomentarin. Padahal setiap pilihan orang itu harusnya di support, bukan dijulidin. Apalagi kalau ngomong sama orang yang gak mau ngertiin orang lain, bawaannya pengen ngegas aja, wkwkwk.

Aku tahu ini gak baik dibiarkan terlalu lama dan gak baik menuruti perasaan ingin ngegas terus. Karena bisa merusak hubungan kita dengan manusia. Dulu aku diem aja kalau dikomentarin apapun. Apalagi kalau orang udah bicarain bagaimana mereka melahirkan dan membesarkan anak. Merasa bangga akan itu. Harusnya memang lebih baik diam ya, atau kalau ingin jawab ya seperlunya aja. 

Kesimpulan 

Aku bukan menyalahkan karena aku menjadi Ibu. Itu nikmat yang luar biasa. Ini adalah tentang diriku, masalahnya ada pada diriku. Bisa saja meski gak jadi Ibu, seiring perkembangan aku pun akan melakukan hal yang sama. Makanya aku intropeksi dan belajar mengatasinya meski gak mudah tetap aku coba untuk merubah diri. Karena Aqlan butuh ibu yang waras dan bahagia, hihi.

Kita gak bisa mengatur mulut orang lain. Terkadang kita pun tanpa sadar sama seperti mereka yang suka berkomentar. Tapi, kita bisa merubah diri kita dengan tetap mencintai diri kita. Lebih baik melakukan perubahan walau hasilnya sedikit, daripada tidak sama sekali. Mbun sayang Aqlan ❤️



Related Posts

Posting Komentar