cerita mbun

Secangkir Vanilla Latte untuk Diar (Tamat)

2 komentar
Secangkir Vanilla Latte untuk Diar Part 4

Diar merasa seperti anak kecil yang ingin melampiaskan amarahnya sesuka hati. Akhirnya Dia membuka pintu kamarnya dan mengiyakan Dito yang ingin bicara dengannya. Diar merasa ini harus diselesaikan dengan baik. Mereka bertemu dengan baik maka berpisah pun harus dengan baik-baik.

"Please Di, kasih aku waktu," kata Dito saat melihat muka Diar dibalik pintu.

"Iya, kamu mau bicara apa?"

"Kamu banyak berubah ya Di, kamu terlihat lebih dewasa sekarang"

"Berkat kamu juga. Aku jadi lebih bisa menghargai diriku sendiri dan tahu apa yang harus aku lakukan."

"Kamu memang keren Di. Aku salut banget sama kamu. Itu juga yang aku suka dari kamu."

"Jadi, kedatanganku kesini mungkin cukup membuat kamu kaget dan bingung. Tapi, aku rasa ini kesempatanku menjelaskan sesuatu yang menurutmu sudah tidak pentimg lagi Di."

"Maafin aku ya, aku dulu bohong sama kamu kalau aku pergi ninggalin kamu karena wanita lain. Padahal, selingkuh seperti itu sama sekali gak terbesit di otak aku. Aku pura-pura bohong sama kamu karena aku mau melanjutkan magisterku di Belanda."

"Aku tahu aku egois. Aku berbuat semauku tanpa mempedulikan bagaimana perasaan kamu. Aku hanya gak mau kamu nungguin aku terlalu lama. Tapi, ternyata justru itu jadi luka yang menganga buat kita. Aku salah karena sudah terburu-buru mengambil keputusan."

"Aku masih sayang sama kamu Di. Meskipun aku berharap kita bisa ke jenjang yang lebih serius. Aku juga udah minta izin ke ibu kalau aku akan melamar kamu. Tapi, semua keputusan ada di tangan kamu Di. Kamu pun berhak tidak menerima lelaki seperti aku yang sudah menyia-nyiakan kamu."

Diar masih mendengarkan Dito yang menceritakan semuanya dengan hati yang berdebar. Kecurigaannya selama ini benar bahwa tidak ada wanita lain yang membuatnya berpaling. Ternyata ini alasannya. Semua terungkap. Ada perasaan lega tapi tidak seperti yang Diar harapkan. Perasaan ini seperti hampa.

Diar juga tidak bisa menutupi kesedihan yang ia rasakan. Air mata sudah tidak bisa dibendung lagi. Diar hanya bisa mendengarkan sambil menangis. Diar tidak tahu harus bilang apa. Diar masih mencerna kata demi kata apa yang diucapkan lelaki itu. Lelaki yang dulu dia sayangi dengan sepenuh hati.

"Sudah terlambat Dit," Diar menghembuskan nafasnya yang tiba-tiba menjadi berat.

"Sudah terlambat untuk kita memulai semuanya dari awal lagi. Kamu tahu kan prinsip hubungan yang aku jalani? Aku akan sayang banget sama orang yang aku pilih dan kalau orang itu memilih pergi yaudah aku bisa apa?"

"Jadi, gak ada kesempatan buat aku lagi Di?"

"Aku sayang banget sama kamu Dito. Bahkan aku udah mikirin hubungan kita ke jenjang yang lebih serius. Tapi, itu dulu. Sekarang aku udah menutup pintu hati aku buat kamu. Aku mau hati aku ini buat orang yang benar-benar tulus sama aku dan orang yang gak mau lihat aku sedih."

"Kamu tahu betapa sakitnya hati aku saat kamu tinggalkan begitu saja? Butuh berapa lama aku bisa berdiri sendiri tanpa kamu? Itu semua gak mudah dan aku gak mau hal yang menyakitkan itu terulang lagi."

"Aku tahu aku memang gak pantas sama kamu lagi Di. Kamu berhak dapat lelaki yang lebih baik dari aku. Aku menyesal."

"Aku udah maafin kamu kok Dit. Kamu tenang aja. Kayanya emang kita lebih cocok jadi teman aja. Aku masih mau kok berteman sama kamu." Perlahan Diar mulai menghapus air matanya. Ada perasaan plong yang ia rasakan. Seperti melepaskan beban yang berat di bahunya.

"Baiklah Di, aku mengerti maksud kamu. Aku hargai keputusan kamu. Aku juga gak bisa maksa kamu jadi istri aku meski aku pengen banget kamu kadi istri aku. Menjalani rumah tangga sama-sama." Kini, terlihat Dito yang menjatuhkan air mata.

Tidak aku sangka Dito terlihat begitu sedih. Aku rasa ini keputusan yang tepat buat kami. Karena chemistry itu udah enggak ada lagi semenjak dia pergi begitu saja. Malam ini aja dia masih saja egois tiba-tiba memintaku jadi istrinya. 

Ahh, sudahlah aku gak mau memulai kembali hubungan yang rumit. Lebih baik aku membuka hati ini buat lelaki yang mau menerimaku dan tulus mencintaiku. 

"Kalau gitu, kita berjabat tangan yuk. Udah dong jangan sedih-sedih terus!"

"Hehe iya Di." Dito mengulurkan tangannya dan berjabat tangan dengan Diar dan senyum terpaksanya.

Malam itu habis turun hujan tapi rasanya hangat karena Diar dan Dito sudah benar-benar menyelesaikan kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka berdua. Perasaa lega sudah bisa mengatakan apa yang selama ini ingin Diar katakan kepada Dito.

Dari hati dalam Diar juga senang bisa bertemu kembali dengan Dito dan melihatnya baik-baik saja. Semoga Dito juga menemukan kebahagiannya.

***

"Jadi, Dito ngelamar lo dan lo tolak Di?" Raya memastikan kembali degan apa yang ia dengar dari mulut Diar.

"Iya Yaa, gue rasa itu yang terbaik buat kita. Anehnya, gue ngerasa lebih nyaman aja rasanya."

"Gue dukung apapun keputusan lo Di, semoga kalian menemukan kebahagiaan masing-masing ya. Wanita itu cantik, dimata lelaki yang tepat." Ujar Raya sambil menepuk-nepuk bahu Diar.

"Widiiihhh dapet kata-kata dari mana lo? Dalem banget sih, hahaha." 

"Hahaha gini-gini juga gue punya segudang kata-kata mutiara." 

"Ada-ada aja lo. Tuh kopi lo sampai dingin gitu." 

"Ehh iya ayo habisan kopi kita daripada galau-galau yang gak jelas. Iya gak?"

"Wkwkwk iyaa Rayaaa, ayo kita makan cake-nya juga nyaaammm."

Diar dan Raya menikmati kopi dan cake mereka di sebuah cafe depan kantor. Setelah menjelaskan apa yang terjadi saat weekend di rumah Diar. 

Diar memandangi secangkir Vanilla Latte yang ia pesan. Dalam diamnya, Diar mengerti kini apa yang ia cari selama ini. Diar juga berterima kasih berkat Dito dia semakin bijak menghadapi masalah dan lebih mengenal dirinya sendiri.


Tamat.

Related Posts

2 komentar

  1. Wahh ternyata plot twist hehehe. Kurang panjang ya partnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha iya ya kak, dah buat setor dulu aja 😂🤣

      Hapus

Posting Komentar