cerita mbun

Teriakan Pejuang Upah

Kaum buruh corporate



“Beri kami keadilan! Hidup kaum buruh!” Teriakan itu sangat jelas terdengar saat ketua demonstran menyuarakan pendapatnya. Terlihat di televisi ramainya para demonstran yang memenuhi jalanan kantor bupati. Mereka beramai-ramai menuju kantor bupati dengan berjalan kaki membawa spanduk penolakan. Mereka setia datang dari pagi hingga matahari tepat diatas kepala mereka, semangat mereka masih berkobar sama panasnya dengan matahari.

Hari ini berita dipehuni oleh para demonstran yang mengeluhkan kebijakan yang menurut mereka tidak adil. Mereka merasa tenaga kerja dengan gaji tidak sesuai. Mereka ingin mendapatkan haknya. Mereka menolak upah minimum di kota tempat aku tinggal.

Sekedar informasi, kota tempat aku tinggal adalah dengan gaji UMR tertinggi di pulau Jawa. Mereka berpendapat harusnya mereka menerima hak mereka, tapi gaji mereka justru malah rendah dan seringnya bekerja tanpa pernah melihat matahari.

“Mereka ngapain sih? Bikin macet jalanan aja!” Gerutuku sambil mengomentari aksi demonstrasi tersebut. Bentar-bentar demo, pikirku. Padahal udah dapat kerja aja, masih protes. Gak bersyukur, batinku.

Aku membayangkan jika aku jadi buruh aku lebih baik kerja saja yang rajin, kalau aku tidak suka tempatnya ya aku tinggal cari saja pekerjaan lain. Sip. Beres. Simple

Mereka itu kaya buang-buang waktu aja. Panas-panasan, ninggalin kerjaannya demi ikutan demo. Bentar lagi palingan dipecat. Aku tak hentinya terus mencecar melihat aksi mereka di televisi. Kalian bisa bayangkan betapa gemasnya aku? 

Aku yang kerap kali heran kenapa setiap Hari Buruh yang jatuh pada bulan Mei selalu dihiasi dengan demo. Selalu aja ada ketidakpuasan. Kenapa mereka gak menerima aja sih, kok malah minta lebih terus. Aku yang mahasiswa hanyak sok-sokan berkomentar, sok akademis dan kritis tanpa merasakan apa yang merea rasakan. Katanya mahasiswa, tapi tak punya simpati. Hiliiiihh.

***

Mata kuliahku telah usai, aku ke kampus hanya tinggal mengerjakan skripsi aja. Gak nyangka sebentar lagi aku bakal lulus, wisuda terus kerja deh. Udah membayangkan hal-hal yang indah. Jadi wanita karir dengan pekerjaan dan gaji yang bagus karena gelar Sarjana sebentar lagi akan berada setelah namaku.

Hari-hari di jalani, ternyata gak semudah itu dijalankan. Setelah lulus malah bingung ngapain. Skill gak punya, koneksi apalagi. Apakah bisa bertahan dengan gelar barunya? Gelar yang penuh perjuangan.

Sarjana hari itu bukan aku saja, tapi ribuan di seluruh kampus di Indonesia. Apalagi semenjak transformasi digital makin banyak profesi baru yang bermunculan. Nilai bagus di kampus saja gak cukup. Harus punya keahlian dalam bidang lain.

Setiap hari meninggalkan surat lamaran di berbagai perusahan. Berharap ada yang menghubungi, tapi kenyataannya dibaca pun tidak. Hingga suatu hari ada yang menelepon untuk wawancara kerja.

Hari pertama kerja sebagai budak corporate masih semangat, tapi lama-lama kok merasa ada yang aneh. Tidak sesuai dengan perjanjian. Dalam hati membatin ”Yaa Allah gini amat, rasanya pengen ikut demo bareng buruh yang demonya biasa aku tonton di televisi”.

Kadang kala yang kita lihat tidak menyenangkan bisa jadi yang sebenarnya kita butuhkan. Disitulah hendaknya kita memiliki rasa empati dna simpati meski saat itu kita tidak sednag merasakannya. Karena roda akan terus berputar. Semoga Indonesia 2024, rakyatnya bisa sejahtera semua dengan pekerjaan yang diingkan.



Related Posts

Posting Komentar