cerita mbun

Makna UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

2 komentar
Perkawinan. Kata yang satu itu sudah tidak asing kita dengar atau lihat di masyarakat. Tapi, mungkin sebagian orang belum memahami makna dari perkawinan itu sendiri. Esensi dari perkawinan apa dan tujuannya untuk apa. Banyak aspek yang meninjau makna perkawinan tersebut. Yang pertama tentu dasar hukum atau landasan perkawinan. Karena negara kita negara hukum, segala sesuatunya diatur oleh hukum, maka termasuk urusan pedata agama khusus (agama) pun dalam hal ini masalah keluarga juga diatur di dalamnya. Terlepas dari hukum Islam dan hukum adat yang juga ikut mengikatnya. Yang ingin saya tekankan disini adalah dari segi undang-undangnya yang sebagian masyarakat mungkin belum mengetahuinya.
Ini dia yang mungkin sebagian masyarakat adat kurang mengenal peraturan perundangan yang satu ini. Menurut saya, Undang-Undang ini lebih familiar dilingkungan akademisi hukum saja tapi kurang menyentuh di masyarakat. Artinya, yang selama ini masyarakat pahami adalah yang terpenting selama perkawinan tidak melanggar atau menyalahi aturan hukum Islam dan hukum adat setempat serta sudah mengikuti tata administrasi perkawinan dengan benar tanpa harus mempelajari atau memahami Undang-Undang Perkawinan, Perkawinan sudah dianggap benar. Sah saja memang,  tidak ada yang salah, tapi alangkah baiknya perkawinan tidak hanya karena sekedar menghalalkan yang haram menjadi halal tetapi lebih sempurna jika perkawinan juga dibekali dengan ilmu pengetahuan. Agar terciptanya keluarga yang tentram dan harmonis serta melestarikan keturunan.
Saya ingin mengurai terlebih dahulu makna perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1 Tahun 1974 yang berbunyi bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ada lima unsur didalamnya; Ikatan lahir batin, antara seorang pria dan wanita, sebagai suami istri, membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pertama, ikatan lahir batin, keduanya harus dipenuhi tidak bisa salah satunya saja. Ikatan lahir, yaitu sesuatu yang terlihat seperti pemberian nafkah dari suami, tentu dengan kesanggupan suami dan dengan ridha istrinya. Sedangkan batin, yaitu yang tak nampak, seperti hubungan suami istri demi menjaga keharmonisan atau romantisme keluarga. Yang kedua, antara seorang pria dan seorang wanita. Seorang saja, tidak usah banyak-banyak sesuai Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, bahwa “Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami”. Emang bisa “adil” bang? mas? pak? Upppssss. Karena hakikatnya tidak akan pernah bisa manusia memenuhi konteks “adil” tersebut. Dan sesuanngguhnya surat An-Nisa ayat 3 bukan membolehkan suami berpoligami, tetapi justru memotivasi suami agar semangat mencari rezeki supaya terpenuhinya kebutuhan lahir dan batin untuk istrinya. Intinya utuk menjaga keharmoniasan keluarga. Antara seorang pria dan wanita ya, bukan lelaki dengan lelaki atau wanita dengan wanita. Diberi kenikmatan terhadap lawan jenis sama Allah kok masih ada saja yang nolak, heran.
Ketiga, sebagai suami istri tentunya perlu diperhatikan hak-hak dan kewajiban satu sama lain. Karena keluarga tidak bisa “masing-masing” tapi harus “saling”. Saling menyayangi, saling mencintai, saling mneghargai dan menghormati satu sama lain. Memahami akan kedudukan dan tugas masing-masing. Hak dan Kewajiban suami istri diatur dalam BAB VI tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam pasal 30, bahwa “Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat”. Selain dalam Undang-undang Perkawinan, diatur juga dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) dalam Pasal 77 dan 78. Pasal 77 ayat (1) bahwa “Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk meneggakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. 
Kalau Undang-Undang Perkawinan saja masih asing, apalagi dengan Kompilasi Hukum Keluarga Islam (KHI). Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 ini ditunjuk kepada Menteri Agama agar menyebarluaskan bagi instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukan. KHI ini termasuk hukum positif di lingkungan Pengadilan Agama, dalam pengembangan hukum Islam dalam bentuk yurispudensi. Undang-Undang Perkawinan dan Kompiasi Hukum Islam inilah dua peraturan yang seharusnya menjadi pedoman di masyarakat. Lanjut yang keempat, membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal. Nah, ini juga termasuk unsur bathiniah. Jangan sampai ada kata “perceraian” itu. Perceraian termasuk perkara halal yang paling dibenci Allah. Harus mengingat kembali prinsip-prinsip perkawinan. Salah satunya perkawinan untuk selamanya bukan perkawinan dalam jangka waktu tertentu saja. Agar tercipta keluarga yang penuh cinta dan kasih sayang.
Dan yang terakhir itu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maksudnya adalah berdasarkan keyakinan dan kepercayaan yang sama, Muslim menikah dengan muslim. Bisa dilihat di Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan, bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.” Tidak dibenarkan menikah dengan beda agama dan kepercayaan. Makna perkawinan secara garis besar seperti itu. Lalu, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana mengaplikasikan makna perkawinan di masyarakat sesuai Undang-Undang Perkawinan? Apakah harus dimaknai dengan pesta perkawinan yang mewah? Yang bersifat riya atau bahkan terkesan berfoya-foya?
Walimah atau biasa dikenal dengan resepsi pernikahan diadakan setelah akad pernikahan berlangsung. Tidak perlu mewah karena walimah dalam Islam dianjurkan tidak berlebih-lebihan. Mengundang tetangga, teman dan kerabat untuk makan bersama. Tentu disesuaikan dengan kemampuan kedua belah pihak. Walimah dilarang jika memberatkan kedua belah pihak yang akhirnya menimbulkan mudhorot. Karena esensi walimah sendiri adalah I’lan, yang artinya mengabarkan. Adanya walimah ini untuk mengabarkan bahwa sudah terjadinya akad perkawinan yang menimbulkan hukum bagi suami istri. Perkawinan harus dikabarkan agar tidak terjadi fitnah. Walaupun memang dalam undang-undang tidak diatur konsep walimah. Mungkin ini salah satu alasan mengapa calon suami istri menunda perkawinan karena merasa belum mampu dalam melaksanakan walimah. Padahal walimah bukan termasuk Rukun dan Syarat Sah Perkawinan.
Peraturan lain juga memudahkan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 48 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 Tentag Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Agama Pasal 6 ayat (1) Setiap warga negara yang melaksanakan nikah atau rujuk di Kantor Urusan Agama Kecamatan atau rujuk di Kantor Urusan Agama Kecamatan tidak dikenakan biaya pencatatan nikah atau rujuk. Juga diberi kemudahan bagi masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi, dalam ayat (3) bahwa “Terhadap warga negara yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan tarif Rp0,00 (nol rupiah).
Jadi, kesimpulan yang bisa diambil adalah makna dari perkawinan yaitu sakinah (ketenangan), mawadah (cinta) dan rahmah (kasih sayang) juga menghalalkan yang haram dengan menjadi halalnya hubungan suami istri. Dan esensi dari walimah adalah I’lan yaitu mengabarkan sudah terjadinya perkawinan yang sah, tidak melakukan perkawinan dengan sembunyi-sembunyi. Mari sama-sama belajar. Silahkan dikoreksi jika ada kesalahan, silahkan didiskusikan. Wallahualam bis sowab.







Related Posts

2 komentar

  1. Revisi sedikit ya sist.. Di bagian ketiga dijelaskan ttg hak dan kewajiban. Akn tetapi jika kita lihat kembali pasal 1 Tahun 1974 tdk menyebutkan statement mengenai hak dan kewajiban. Tanpa mengurangi mksd pasal tsb sebaiknya cantumkan kalimat".....membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal.." Pada bagian ketiga, kemudian bisa dilanjutkan pembahasan mengenai bagaimana caranya? Yaitu dgn menjelaskan hak dan kewajiban tsb. Terima kasih :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaaahh terima kasih masukannya 😍 Itu termasuk unsur2 yg sudah dijelaskan di atas "sebagai suami isteri". Kalau caranya bisa dibaca di UU Perkawinan Bab VI. Mungkin kurang penjabarannya kali yaa. Karena memang yg ditulis disini intisarinya saja 😊

      Hapus

Posting Komentar