Kalau kamu bisa mengontrolnya, nggak masalah. Tapi, yang menjadi persoalan seringkali postingan yang indah di media sosial tanpa disadari membuat kita lupa satu hal, yaitu menjadi pribadi yang kurang bersyukur. Kita jadi membandingkan kehidupan kita dengan orang lain, atau mengikuti standar media sosial.
Belum lagi sosok influencer yang selalu menampilkan kemewahan, kurangnya sosok figur yang bisa kita tiru tanpa harus menjadi orang lain. Ada nggak sih influencer Indonesia yang menyuarakan hidup di desa, slow living dengan makan dari hasil berkebun? Seperti Liziqi, Youtuber Jepang yang hidup slow living di desa. Sontak bikin aku juga pengen bisa berkebun, agar bisa mengelola alam dengan baik.
Bukan soal berkebun sih, tapi bagaimana sosok figur tersebut bisa menanamkan nila-nilai kehidupan atau value bagi yang mengikutinya. Sehingga tidak ada lagi yang membandingkan diri, justru malah menerima diri sendiri dengan segala kekurangan dan kelebihan.
Ternyata seni menerima diri sendiri tidak mudah loh, butuh proses dan sampai dituangkan dalam buku oleh Muthia Sayekti, yang menulis buku Berdamai dengan Diri Sendiri: Seni Menerima Diri Apa Adanya.
Kalau kamu sering merasa overthingking, insecure, atau lelah dengan kehidupan, buku ini cocok untuk kamu baca. Buku yang aku beli waktu ke Gramedia World Karawang saat libur lebaran.
Tentang Buku
- Judul: Berdamai dengan Diri Sendiri: Seni Menerima Diri Apa Adanya
- Penulis: Muthia Sayekti
- Penerbit: Psikologi Corner
- Tahun Terbit: 2017
- Jumlah Halaman: 216 halaman
- ISBN: 978-602-6595-97-3
Sinopsis Buku Berdamai dengan Diri Sendiri: Seni Menerima Diri Apa Adanya
Berdamai dengan Diri Sendiri adalah sebuah perjalanan lembut untuk kembali mengenal, memahami, dan memeluk diri sendiri. Ditulis dengan gaya yang hangat dan menyentuh, Muthia Sayekti mengajak pembaca merenungi luka-luka lama, suara batin yang kerap menghakimi, hingga kebiasaan overthinking yang tanpa sadar menyiksa diri sendiri setiap hari.Kenapa diri sendiri? Karena diri sendiri adalah musuh terhebat manusia. Seseorang yang belum menerima diri sendiri akan sulit utnuk merasakan empati pada orang lain. Sedangkan bagi yang sudah bisa menerima diri sendiri akan lebih tenang menghadapi persoalan kehidupan.
Lewat refleksi, afirmasi, dan panduan sederhana seperti journaling dan meditasi ringan, buku ini menyuguhkan ruang aman bagi siapa pun yang sedang lelah menjadi "kuat" terus-menerus. Tak hanya bicara tentang self-love, buku ini lebih dalam, tentang penerimaan diri, menerima diri dengan segala ketidaksempurnaan, dan tetap merasa cukup.
Buku ini membahas 5 bagian, dari mulai berdamai dengan ketidaksempurnaan, melihat potensi diri, mengatasi kekurangan hingga bentuk penerimaan dengan jurnaling dan meditasi.
Topik yang Dibahas di dalam Buku
Aku pikir, ini hanya akan menjadi buku self-help seperti kebanyakan, penuh teori dan sulit dipraktikkan. Tapi ternyata, Muthia menulisnya dengan sangat sederhana dan mudah dipahami. Menulisnya seolah seperti sahabat lama yang duduk di sebelah, mendengarkan, dan berkata, “Kamu tidak harus sempurna. Cukup jadi dirimu saja.”1. Berdamai dengan Ketidaksempurnaan
Dalam buku ini, Muthia Sayekti mengajak pembaca untuk melihat ketidaksempurnaan bukan sebagai kekurangan yang harus disembunyikan, tapi sebagai bagian alami dari kehidupan. Sering kali kita terlalu keras pada diri sendiri, merasa gagal hanya karena tidak sesuai standar "sempurna" yang kita bayangkan.
2. Melihat Potensi Diri
Banyak orang tidak menyadari betapa berharganya diri mereka, karena terlalu sibuk membandingkan hidup dengan orang lain. Dalam buku ini, Muthia mengingatkan bahwa setiap orang punya potensi, meski bentuknya tidak selalu besar atau terlihat oleh orang lain.Melihat potensi diri bukan berarti harus jadi hebat di mata orang. Tapi menyadari bahwa ada kekuatan dalam kepribadian, kesabaran, keberanian kita mengambil keputusan kecil, atau dalam kemampuan kita bertahan. Potensi itu muncul saat kita berhenti menghakimi diri dan mulai memberi ruang bagi diri sendiri untuk berkembang.
3. Perlukah Iri?
Iri memang wajar, tapi buku ini mengajak kita untuk menyadari dampaknya jika tidak dikelola. Iri bisa membuat kita kehilangan arah, lupa bahwa setiap orang punya jalannya sendiri. Dalam bab ini, Muthia membimbing kita untuk lebih sadar bahwa yang kita lihat dari orang lain sering kali hanya “permukaan” saja.Muthia menekankan bahwa dibanding terus menatap pencapaian orang lain, lebih baik kita fokus pada langkah-langkah kecil yang bisa kita lakukan. Dengan begitu, kita tidak hanya sembuh dari rasa iri, tapi juga tumbuh menjadi pribadi yang lebih damai dan bersyukur.
4. Tidak Perlu Menjadi Orang Lain
Di era media sosial, banyak orang tanpa sadar merasa harus tampil seperti orang lain demi diterima. Buku ini menentang pemikiran itu dengan halus namun tegas. Muthia mengajak kita untuk kembali melihat ke dalam, siapa diri kita sebenarnya? Apa yang membuat kita unik?
Hidup ini tidaklah untuk membuktikan apa pun kepada siapapun. -Paulo Coelho
Menjadi diri sendiri memang tak selalu mudah, karena kadang ada penolakan atau penghakiman. Tapi berusaha menjadi orang lain jauh lebih melelahkan. Buku ini mendorong kita untuk mengenali dan menerima diri, bahkan bagian yang tidak disukai sekalipun. Karena hanya dengan menjadi diri sendirilah, kita bisa benar-benar bahagia.
5. Menemukan Ruang Aktualisasi
Bagian menemukan ruang aktualisasi dalam buku Berdamai dengan Diri Sendiri adalah salah satu bagian penting yang cukup menyentuh dan membumi. Di sini, Muthia Sayekti menyoroti bahwa setiap orang butuh ruang untuk menyalurkan potensi, mengekspresikan diri, dan merasa bahwa dirinya berharga serta bermakna.Aktualisasi diri bukan berarti harus menjadi luar biasa di mata dunia. Tapi lebih kepada menemukan apa yang membuat kita hidup dengan penuh makna, apa pun bentuknya. Bisa lewat menulis, memasak, bekerja, merawat anak, membantu orang lain, atau sekadar menekuni hobi yang membuat kita merasa “utuh.”
Muthia menyampaikan bahwa kita sering terjebak pada definisi sempit tentang kesuksesan atau aktualisasi, padahal bentuknya bisa sangat personal dan unik. Di bagian ini, Muthia memberikan contoh dua teman dekatnya yang Muthia ambil sebagai pelajaran. Mau tahu contohnya? Baca dulu bukunya, hehe.
Kesan Membaca Buku Muthia Sayekti
Aku punya banyak beberapa buku self improvement seperti ini. Dari yang sudah aku baca, menurutku buku Muthia ini bahasanya sangat ringan dan relate dengan banyak orang.Setiap babnya seperti seperti menengok ke dalam diri. Tidak berat, tidak filosofis berlebihan, tapi cukup dalam untuk bikin kita ingin berhenti sejenak dan berpikir. Bahkan kadang seperti membaca diary teman yang sedang berbagi pengalaman hidupnya sendiri.
Aku merasa pengalamannya ini “aku banget.” Jujur saja kadang aku juga banyak berperang dengan diri sendiri. Makanya waktu aku lihat buku ini di rak self improvement, aku langsung ambil aja dan kebetulan harganya juga terjangkau.
Karena isinya tidak berat, buku ini cocok dijadikan bacaan pengantar tidur, atau saat sedang merasa overthinking. Tidak harus dibaca sekali duduk, karena tiap bagian berdiri sendiri dan bisa dinikmati sesuai kebutuhan hati saat itu.
Muthia kembali mengingatkan kalau percuma saja kita membaca buku ini tapi tidak di praktikkan. Hanya akan menjadi teori semata dan menguap begitu saja. Plaakk aku berasa tertampar banget. “Iya juga ya, udah banyak buku yang aku baca tapi rasanya kok nggak berubah.” Ya, pastinya ada perubahan walaupun sangat kecil. Yang penting kita terus bertumbuh setiap harinya.
Kesimpulan
“Tidak ada yang mustahil bagi siapa pun juga untuk menggali potensi yang ia miliki selama ia sudah berdamai dengan kekurangannya.”Berdamai dengan Diri Sendiri karya Muthia Sayekti adalah pengingat untuk berhenti memusuhi diri sendiri dan mulai menerima segala sisi yang kita miliki, baik kekurangan, rasa iri, maupun ketidaksempurnaan.
Lewat bahasa yang sederhana dan contoh-contoh nyata, buku ini membantu kita melihat bahwa kebahagiaan sejati bukan berasal dari menjadi sempurna atau seperti orang lain, tapi dari mengenali, menerima, dan mengaktualisasikan diri sendiri secara otentik.
Muthia juga memberikan praktik praktis seperti jurnaling dan meditasi sederhana yang mudah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga buku ini bukan sekadar bacaan inspiratif tapi juga panduan transformasi diri secara perlahan.
Kalau kamu sedang merasa lelah dengan ekspektasi orang terdekat, atau ingin menemukan ruang damai dalam diri, buku ini sangat layak untuk menjadi teman merenungmu.
Yuk, dapatkan bukunya dan mulai perjalanan menuju kedamaian batin. Yuk sharing, bagaimana kamu bisa menerima diri sendiri hingga terus haid lebih baik? Ada yang sudah baca bukunya?
Ya Allah, jadi keingetan masa-masa awal ngerantau, daku juga sering tuh kalo pas tanggal tua nongkrongnya di Gramedia. Gak beli, cuma nongkrong aja di depan shelf buku pengembangan diri, hahaha.
BalasHapusBuku ini kayaknya aku pernah nemuin, tapi seri lain dari penulis yang sama. Suka banget si sama temanya, karena untuk bisa bahagia, yang utama adalah kita harus bisa berdamai dengan diri sendiri.
Pada poin iri ini aku jadi tersentak
BalasHapusSepertinya mungkin aku punya sifat ini sehingga membuatku malah tidak melakukan apa apa
Harusnya ketika melihat orang lain sukses, harus ikut sukses juga, bukan minder dan menganggap diri buruk sehingga iri karena orang lain bisa
Wah, reviewnya bikin jadi pengen baca! Gatau kenapa, semakin tua semakin dekat dengan buku2 tema berdamai dengan diri sendiri hehehe. Bukunya sepertinya menarik ya untuk menerjemahkan rasa self‑compassion ke keseharian. Tsaaaah
BalasHapusBener banget buku2 self improvement kayak gini jadi berasa gak bermanfaat kalo kita tidak bisa langsung menerapkannya dalam kehidupan..aku kadang juga ngrasa gt dh buku baca self improvement tpi kok gak ada perubahan ternyata akunya sendiri yg gak mau berubah ato sudah merasa berubah padahal masih jalan ditempat
BalasHapusSemoga di Toko Buku di kota saya masih ada bukunya. Menginspirasi sekali. Jujur, memang benar, pikiran yang paling berbahaya itu yaitu overthingking pada diri kita sendiri.
BalasHapusSemoga bisa membeli bukunya. Amin. Thanks infonya !
Topik yang diangkat oleh buku ini menarik, terutama soal potensi diri, karena itu satu hal penting untuk dikenali supaya rasa damai itu tetap ada.
BalasHapusMengerti kekuatan diri akan melahirkan keteguhan dan percay, karenanya membawa rasa aman, nyaman dan tenang.
Ulala, ini mah keren buangeeett
BalasHapuskeknya aku kudu berburu buku ini, deh
karena selama ini, aku kerap terjebak pada komparasi yg tidak perlu, sehingga syulidddd rasanya untuk bisa berdamai dgn diriku sendiri
Memang yg paling penting adalah penerimaan alias berdamai dengan diri sendiri yaa. dulu tuh daku sering blaming ketika keadaan tidak sesuai dengan ekspektasi. Ternyata setelah berdamai dengan diri sendiri jadi paham kalau itu salah.
BalasHapus"Kebahagiaan sejati bukan berasal dari menjadi sempurna atau seperti orang lain, tapi dari mengenali, menerima, dan mengaktualisasikan diri sendiri secara otentik"
BalasHapusNamun, memang aslinya banyak banget yang kurang kenal sama dirinya sendiri dan akhirnya terjebak rasa iri yaa, huhuhu. Karena kita mungkin bukan kurang bersyukur, hanya kurang waktu untuk bisa kembali melihat apa kekurangan dan potensi diri.
Ah, seneng banget nemu buku yang bisa mengingatkan kayak gini. Jadi bikin pembacanya juga refleksi.
Eh buku ini tuh sempat aku mau beli pas ada pameran buku di blitar square mbak. Tapi melongok lihat daftar TBR ku tuh jadi maju mundur, apalagi kalau paksu sudah bilang, "kelarin dulu yah TBR-nya, biar lemarinya legaaa." kayak dipukul palu godam. Wkwkwkkw... :D
BalasHapusTerus ya, masalah iri ini manusiawi. Selama ya irinya nggak njulid ke orang lain. Kadang kan ya ada aja orang yang iri terus njulid eh jatuh ke fitnah. Malah dosanya tripel mah ini.
fokus pada kelebihan 'kebun' sendiri dan membenahi kekurangannya, masih lebih baik daripada fokus ke kebun tetangga. Semangat yukk! :)
Bukunya sepertinya mirip dengan mindfilness yang sedang ta baca nih mbak, lebih bisa menerima diri dan berdamai dengan diri, karena siapa lagi yang peduli dengan diri ini jika bukan kita sendiri ya kan
BalasHapusDulu usia 20-30an aku mungkin masih gampang iri dan stress kalo ga bisa mempunyai banyak hal. Maklum darah masih panas mba 😁. Ditambah influencer yg suka flexing, makin nambah beban.
BalasHapusTapi mulai mendekati 40an, sampai skr, aku JD sadar kalo capeeek loh ngejar hal2 begitu. Terlalu kecewa Ama kekurangan diri, padahal kelebihan lainnya masih banyak. Kenapa jadi fokus pada minus poin.
Akhirnya bisa juga belajar utk ga peduli Ama pencapaian orang lain, ga sakit hati lagi Ama minus diri sendiri, dan fokus hanya utk menyenangkan diri .
Bahkan udah bisa terima kesuksesan orang lain sebagai motivasi supaya aku bisa ke arah sana juga. Ini semua LBH bikin aku bahagia juga mba. Krn ga tertekan lagi melihat aneka flexing sekarang 😄
Informasi yang gencar ini, memnag harus kita sikapi dengan bijak. jangan sampai terpengaruh. karena apa yang kita lihat di medsos, tidak mungkin semuanya indah sesuai kenyataan. Bahkan ada yang berutang demi pergi liburan untuk mendapat sebuah pengakuan. Dan buku ini sangat bagus sekali ya, bagaimana kita mengenal diri kita sesuai kelebihan dan kekurangan lalu menggali potensi yang ada pada diri kita
BalasHapusBaca ulasannya Mbak Fida ini, jadi dapat gambaran bagus soal bukunya, biar kita jadi ingat bahwa jangan terus²an bandingin diri dengan orang lain, sehingga lupa bahwa diri punya skill dan potensi yang bisa digali. Kayak semacam, rumput tetangga terlihat lebih hijau ya
BalasHapusYaampun bukunya sebagus itu 🤩. Aku ada bukunya di rumah, masih terbungkus rapi. Ku dapatkan dari sebuah kuis saat kumpul sama book lovers. Aku mau buka belum sempat karena masih ada sekitar 7 buku yang antri minta dibaca.
BalasHapusBener banget sih ya, era serba cepat dan sosmed yang kebanyakan menampakkan kebahagiaan saja kadang bikin hati kesentul "kok orang-orang hidupnya bahagia aja" hahahhaa padahal nggak gitu, mereka aslinya berusaha juga.
Cuma jarang yang liatin masa sulit tapi untuk influencer yang bahas hidup sederhana di desa, udah ku temuin kok beberapa dan mereka beneran seadanya aja.
Bahkan ada anak muda cewek remote working tinggal di desa rumah alakadarnya tapi kontennya bermakna. Kesehariannya tuh bikin adem, slow living dan masak hasil kebun Masha Allah adem.
Jadi nggak sabar baca buku Berdamai dengan Diri Sendiri: Seni Menerima Diri Apa Adanya. Secara udah ada di rumah nih buku hehee.
Terima kasih rekomendasi bukunya mbak, saya tertarik nih mau nyari, kebetulan nanti siang ke toko buku. Belakangan kek merasa hampa, usia udah segini, pengen melakukan suatu hal baru tapi bingung apaan yaa haha.
BalasHapusEmang yang penting kita tu kita menerima diri kita sendiri ya, lalu usaha menggali dan fokus ke diri sendiri ya, jangan niru2 dan berusaha jadi orang lain.
Buat orang yang kurang oercaya diri dan sering over thinking cocok nih baca buku ini. Menerima diri sendiri itu jalan menuju selflove. Bukunya bagus ya teh, memberi pemahaman kepada kita bagaimana caranya agar bisa menerima kondisi kita apa adanya. Enggak banding²in sama orang lain.
BalasHapusIya, media sosial bisa jadi tempat bikin orang insecure ya karena disuguhi kemewahan duniawi, tapi sekarang banyak konten kreator yang menunjukkan hidup sederhana apa adanya.. bukunya menarik ini topik kesehatan mental ditulis dengan ringan dan mudah dipahami..
BalasHapusBuku yang sangat insightful ya mbak
BalasHapusMemang kadang berdamai dengan diri sendiri itu sulit
Kadang, kita sendiri belum bisa menerima diri apa adanya
Bukunya practically yaa...
BalasHapusGak hanya membaca, tapi juga mengajak pembaca untuk mempraktekkan apa yang telah dibaca dan dipahami.
Buku yang bagus untuk basic skill lyfe agar gak banyak ovt dan berfokus pada diri sendiri.
Saya termasuk orang yang butuh waktu lama untuk berdamai dengan diri sendiri, bahkan sampai sekarang pun masih terus belajar menerima 'what I am'.
BalasHapusSepertinya butuh juga buku Muthia Sayekti yang satu ini untuk menguatkan pola pemikiran to stay positive kepada diri sendiri
Keren banget isi bukunya
BalasHapusSetuju banget buat apa iri sama orang lain? Daripada iri terus menatap pencapaian orang lain, lebih baik kita fokus pada langkah-langkah kecil yang bisa kita lakukan. Dengan begitu, kita tidak hanya sembuh dari rasa iri, tapi juga tumbuh menjadi pribadi yang lebih damai dan bersyukur.
Top markotop sekali .. banyak pelajaran hidup yg bisa diambil dari buku ini